Diposkan pada Tidak Dikategorikan

Komunikasi Pekerja & Pengusaha di Era Global


Ada yang salah dari kita di jaman ini dalam melihat pola baru hubungan antara buruh dengan karyawan. Realitas sudah sedemikian jauh berubah, tapi cara pandang, sikap dan tindakan kita dalam menyikapi persoalan lapangan kerja, kondisi buruh dan globalisasi masih dilihat dengan cara lama.

Sebuah istilah, apalagi digunakan oleh lembaga-lembaga resmi dunia, bahkan lembaga politik tentu bukan sembarang istilah. Globalisasi atau neoliberalisme tak cukup dipahami sebagai neo-imperialisme. Globalisasi juga sebagai proses alamiah transformasi kehidupan manusia. Kaum kapitalis maupun proletar sama-sama problematis menghadapi situasi ini. Memang tidak salah pandangan klasik konflik majikan dan buruh sebagai konsekuensi logis dari sistem kapitalisme. Yang salah adalah memandang konflik tersebut sebagai sesuatu yang baku, sementara realitas sudah berubah. Konsekuensinya, cara pandang pun harus berubah untuk menentukan tindakan yang tepat.

Jaman telah berubah. Pola hubungan di masyarakat sangat bervariasi. Sebelum teknologi berkembang, umat manusia berharap teknologi mutakhir seperti eksistensi, otomatisasi, standarisasi, mekanisasi akan membebaskan manusia dari kerja fisik. Manusia akan terbebas dari penindasan antar manusia. Tetapi dalam kenyataannya realitas jaman serba hi-tech justru banyak mengatur, bahkan mendominasi manusia. Teknologi, memaksakan tuntutan ekonomis dan politiknya kepada manusia. Filsuf Herbert Marcuse berpendapat,”jika dahulu, dalam era kapitalisme liberal mayoritas (buruh) ditindas oleh minoritas (majikan), kini di era neo-liberal mayoritas ditindas oleh sesuatu yang sifatnya anonim, yaitu ‘sistem teknologi’. Marcuse punya istilah yang menarik dalam melihat karakter jaman ini dengan menyebutnya rasionalitas teknologis. Jangankan dalam tata-kelola ekonomi, dalam hal kebudayaan pun bisa dipandang rasional sejauh bisa diperalat, dimanipulasi, dimanfaatkan atau diperhitungkan secara matematis dan ekonomis.

Dalam bidang politik,-seperti kata F. Budi hardiman (1992)- penguasa bisa mempertahankan kekuasaannya sejauh mereka sukses memobilisasi, mengorganisasi dan mengeskploitasi produktivitas secara mekanis, teknis dan ilmiah bagi kebudayaan industri. Tak hanya dalam bidang-bidang itu, bidang agama pun kini telah masuk dalam pola yang kurang lebih sama. Seseorang sudah pantas disebut tokoh agama tanpa harus menunjukkan tingkat keilmuan dan moralitas ketokohannya di masyarakat. Cukup sedikit bekal ayat, sedikit pengetahuan reflektif tentang religiusitas untuk mencapai popularitas. Bekal ini sudah cukup, asalkan sang mubalig mampu beradaptasi dan mendapat dukungan sistem teknologi; media cetak, elektronik, dan manipulasi digital dalam upaya mendongkrak citra. Di era tradisional, hanya sedikit orang yang bisa meraih popularitas, kini mubalig bisa bermunculan seperti produksi ponsel. Jurgen Habermas, sang penafsir Marxisme menemukan satu teori yang sangat bagus sebagai paradigma melihat situasi sekarang. Ia berhasil melepas pandangan kritis ala Marxian -yang menurutnya sebagian sudah tidak relevan untuk menyikapi situasi modernitas sekarang. Habermas meluncurkan sebuah pandangan masyarakat ‘komunikasi bebas penguasaan’. Ini adalah kritik kepada pemikiran Marx yang dulu terkenal dengan masyarakat tanpa kelas.

Bedanya, kalau Marx mengandaikan masyarakat tanpa kelas melalui perjuangan kelas, revolusi, Habermas mencanangkan sebuah cara melalui cara ber-komunikasi. Sebuah komunikasi yang tidak terdistorsi secara ideologis bagi masyarakat. Secara umum tujuan teori ini bisa digunakan sarana komunikatif antarlapisan kelas sosial masyarakat. Secara khusus bisa digunakan untuk mencapai konsensus dari perseteruan antara pekerja dengan majikan.  Tentu semangat Habermas ini cukup menyegarkan kita yang kini hidup dalam era demokratisasi dan liberalisasi. jurgen hubermasMelalui komunikasi yang baik, satu pihak memahami pihak lain, semua akan memiliki kesempatan yang setara melibatkan diri dalam perbincangan dan mengemukakan persetujuan, penolakan dan penafsiran fakta. Bahkan dengan cara komunikasi itu pula mereka bisa mengungkapkan perasaan dan sikap secara bebas terbuka tanpa pembatasan diri.

Di sini diharapkan, antara karyawan dan majikan bisa melihat kenyataan makro seperti globalisasi, teknologi dan realitas pasar melalui ‘sudut yang sama’ untuk mencapai kesepakatan yang sama. Dengan itu pula kelak kaum pekerja tidak akan mudah menyalahkan majikan atas persoalan-persoalan kerja. Dampak positif lain dari pola komunikasi semacam ini juga memberikan kesempatan masing-masing pihak untuk paham dan sadar akan perbedaan bahasa kehidupan. Bos akan bisa memahami karakter kehidupan karyawannya karena dalam komunikasi-dialogikal mereka secara terbuka menceritakan kebutuhan dan persoalan hidupnya. Sementara para karyawan akan mengerti keadaan perusahaan, keadaan pasar, bahkan kondisi keuangan perusahaan secara baik.

Pengertian, transparasi sudah menjadi hal yang wajar di era sekarang. Sebab keuntungan perusahaan sekarang tidak mungkin berhasil jika sekadar mengandalkan “kecerdasan” pemilik modal dalam mengeskploitasi karyawannya. Berhasil atau tidaknya perusahaan sangat bergantung kepada pasar. Kompetisi produk unggul (qualified product) dan pelayanan yang baik (good service) adalah kata kunci yang harus dipegang setiap orang. Andaikan perusahaan itu adalah klub sepakbola di Eropa yang kini telah masuk dalam industrialisasi, sebuah perusahaan memiliki manajer, marketing klub, pelatih, dan pemain. Semua harus padu bergerak menembus pasar, meraih simpati penonton agar loyal dan terus berbondong-bondong membeli tiket.

Maka, permainan setiap laga harus tampil maksimal. Kalaupun tidak mungkin selalu menang, setidaknya tampil cantik di lapangan hijau, fair pla, sehingga enak ditonton. Di balik stadion, klub sepakbola tangguh tidak hanya mengandalkan kepemilikan bintang lapangan melainkan harus memiliki hubungan yang setara dan harmonis antarpemain, pelatih, manajer dan pemilik modal. Konflik majikan dengan buruh, seperti dalam pandangan klasik Marxian memang logis diselesaikan melalui perjuangan kelas. Hanya saja perjuangan kelas tidak bisa dipisahkan dengan tujuan internasionalisme. Slogan “kaum buruh di seluruh dunia bersatulah” adalah upaya ideologis mewujudkan tatanan dunia berupa masyarakat tanpa kelas secara internasional. Sayangnya, ide ini terbentur “ketidaksepakatan” semua kaum pekerja dari berbagai negara,-yang memang tidak seragam kepentingannya.

Dulu semangat internasionalisme menjadi hak paten kaum komunis. Sekarang komunisme telah usang, serupa dengan tumbangnya kapitalisme klasik. Internasionalisme justru kian tampak dalam bentuk globalisme. Tatanan global adalah realitas. Kenyataan yang harus dipahami secara baik untuk menentukan tindakan yang tepat. Filsuf eksistensialis Nietzsche pernah mengatakan; “tangkaplah jamanmu untuk mendapatkan dunia dan kehidupanmu.” Tanpa kecerdasan ini, Nietzsche melihat kecenderungan banyak orang akan menjadi budak kehidupan. Di sinilah paradigma komunikasi menjadi penting bagi siapapun yang tak ingin dilibas jaman.(Faiz Manshur)

Naskah ini pernah dimuat di http://www.portalhr.com/kolom/2id84.html

Penulis:

Writer, Editor and Book Script Digger

5 tanggapan untuk “Komunikasi Pekerja & Pengusaha di Era Global

  1. mas saya mau ngajuin skripsi tentang radio sebagai aspirasi publik
    ini mas persoalannya sekarang ini kan belum banyak buku yang mengupas tentang masyarakat komunikasi boleh ngak anda memberikan komentar atau isi tentang masyarakat komunikasi ini mengingat sekarang telah berkembang cizent jurnalism (warga sebagai masyarakat komunikasi)
    thank…

  2. Dr, terimakasih atas undangannya. Maaf baru bisa bales karena ada kesibukan di luar “komputer”.
    Tentu saja saya senang jika diajak diskusi dalam hal ini. Namun harap dimengerti, saya bukan ahli filsafat, melainkan hanya sering menyempatkan diri belajar dan mengapresiasi. Jadi kalau nanti banyak kekurangan dan kurang bisa mengimbangi Anda harap maklum ya…

    salam
    Faiz

Tinggalkan komentar